Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ketidakwarasan Diplomasi Global: Etika Diplomasi tanpa Nurani, Jeritan dari Gaza

Kamis, 10 April 2025 | April 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-09T04:23:56Z

 

Oleh : Ali Amril, Aktivis Gerakan Filantropi Dunia Islam & Chairman Aksi (Aliansi Kemanusiaan Indonesia)

MediAKSI - Di ujung timur Laut Tengah, di atas tanah bernama Gaza, dunia menyaksikan tanpa daya, bahkan tanpa getar hati, anak-anak yang dibunuh dan tubuhnya terlempar ke langit, rumah-rumah yang menjadi kuburan massal, dan ibu-ibu yang memeluk erat jasad bayinya seolah melepaskan kerinduan terakhirnya. Kita terlalu sering menyebut tragedi kemanusiaan ini dengan istilah perang.

Tapi apa yang kita saksikan hari ini adalah pembantaian! Ini genosida! Ini pemusnahan penduduk suatu negeri secara sistematis dan terang-terangan!

Lantas, apakah waras jika saat ini kita bisa masih bicara tentang diplomasi dengan datar-datar saja, seolah sedang bicara di podium seminar akademik? Masih layakkah kita meyakini bahwa diplomasi adalah satu-satunya jalan, ketika darah telah terlalu sering membasuh penduduk suatu negeri serta mengeliminasi garis batas kesabaran ?

Seruan Solidaritas dari Dunia yang Tuli

Israel melakukan pembantaian secara terang-terangan. Sekolah, Rumah sakit, pengungsian, fasilitas publik, bahkan bantuan medis dan pangan secara keji juga menjadi sasaran. Di sisi lain, dunia berbasa-basi menggunakan narasi yang tidak berubah: kami mengecam, kami menyesalkan, kami prihatin. Tapi kita tidak (atau belum) melihat sama sekali adanya tekanan dari dunia.

Tidak ada (atau belum pernah ada) sanksi. Tidak ada (atau belum pernah ada) langkah real dan terorganisir. Dunia saat ini baru sebatas orkestrasi amoral, di mana setiap negara besar hanya "bermain-main" memainkan narasi diplomasi, namun sambil tetap menutup mata dan telinga mereka.

Sebuah anomali: apakah tuli? Atau sengaja tidak mau mendengar?

Dunia Telah Gagal Menjadi Manusia Seutuhnya

Saat ini, kita telah sampai pada masa dimana istilah HAM seolah hanya sebatas dekorasi diplomasi, bukan pegangan nilai moral. PBB; lembaga yang salah satu tujuan didirikannya adalah untuk mencegah berulangnya tragedi kemanusiaan, hari ini justru menjadi "prasasti kebisuan". Negara adidaya, sebutlah Amerika Serikat secara terang-terangan mensponsori pembantaian umat manusia, mereka berbicara tentang hak Israel membela diri, tetapi gagal menjadi manusia seutuhnya saat Palestina dibumihanguskan.

Masih layakkah bicara peradaban jika kita gagal menjadi manusia seutuhnya? Apa gunanya "kaidah hukum dunia" jika ia tumpul ke negara besar dan hanya tajam ke negara kecil ?

Retorika tak Bernyawa di Tengah Jeritan Gaza

"Menjaga etika diplomasi adalah hal yang tak boleh diabaikan". Adagium yang belakangan digaungkan secara berat sebelah. Namun izinkan saya bertanya "bagaimana bisa kita bicara soal etika diplomasi? ketika yang ada di depan kita adalah kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan?"

Menjaga etika diplomasi di tengah pembantaian massal yang dilakukan Israel, kurang lebih seperti memarahi penjagal yang tidak mencuci tangan setelah menyembelih. Retorika tak bernyawa yang anomali dan cenderung mematikan nalar. Boleh kita kategorikan ini adalah kolaborasi senyap terhadap kejahatan terang-terangan.

Fatwa Ulama Internasional: Mengendap di Udara, tak Pernah Tiba di Meja Dunia

Baru-baru ini, ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai negara berkumpul dan menyerukan upaya jihad dalam dimensi yang luas: agitasi doa, dukungan moral, dukungan logistik, hingga langkah politik dan ekonomi. Tapi seruan ini seolah Mengendap di Udara, dan Tak Pernah Tiba di Meja Dunia. Padahal, ini lah saatnya persatuan umat tak berhenti di level hanya dikumandangkan, ia harus diwujudkan dalam gerak nyata dalam dimensi yang luas.

Fatwa diibaratkan sebagai benteng, jika diabaikan, maka yang hilang bukan sekadar arah, tapi juga kehormatan umat. Terlebih lagi jika negara-negara Islam memilih diam, maka kita bukan sekedar kehilangan Gaza, kita kehilangan makna menjadi Muslim itu sendiri.

Indonesia: Sejarah Panjang Dukungan Nyata Untuk Palestina

Kita Bangsa Indonesia, adalah negara besar yang tak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang Dukungan Nyata Untuk Palestina. Bung Karno dengan sangat lantang menolak Israel dan mendobrak kebisuan panggung internasional dengan ber-api api. Tapi ketika kita hanya muncul saat aman untuk berbicara, maka itu bukanlah keberpihakan, itu baru sebatas kalkulasi.

Suara Indonesia masih terdengar seperti bisikan dari balik tirai: diplomatis, dan terlalu hati-hati. Dalam sejarah panjang diplomasi internasional, kadang yang dibutuhkan bukanlah suara yang tenang, tapi suatu ledakan keras yang membangunkan dunia.

Saatnya Memimpin "Diplomasi Keras Bermoral"

Indonesia jangan terus berlindung di balik retorika tak bernyawa. Sudah saatnya Indonesia memimpin “diplomasi keras bermoral”, diplomasi yang tak ragu menggunakan ancaman diplomatik pemutusan hubungan, boikot, bahkan langkah hukum internasional terhadap Israel dan negara-negara pendukungnya yang membabi buta.

Contoh negara kecil seperti Bolivia, yang berani mengusir duta besar Israel. Atau katakanlah Afrika Selatan yang membawa kasus genosida ke Mahkamah Internasional.

Peran "Civil Society" Dunia Islam

Dalam situasi kebisuan internasional, suara "Civil Society" seringkali menjadi benteng terakhir tragedi kemanusiaan. Ulama, aktivis, lembaga filantropi, dan anak-anak muda dunia Islam harus membangun kolaborasi besar menekan dan mendorong negara-negara Muslim untuk berbuat nyata. Lebih dari sekedar solidaritas. Ini adalah jihad kolektif melawan lupa, melawan diam, dan melawan kejahatan dengan kolaborasi multi dimensi.

Gaza tak Pernah Berhenti Memanggil (Nurani) Kita

Di langit Gaza, jeritan anak-anak tak hanya menembus asap kepulan bom, namun juga menghentak jantung dunia. Hari ini, yang mati bukan hanya anak-anak Palestina, tapi harapan tentang dunia yang adil. Yang hancur bukan hanya rumah-rumah penduduk, tapi kredibilitas sebuah peradaban.

Kita tidak sedang memilih antara diplomasi atau perang, tapi antara keberanian atau kehinaan. Antara menjadi manusia seutuhnya atau menjadi setengah manusia yang hanya menonton kejahatan. Dan Indonesia, sedang diuji: apakah akan menjadi negara besar dengan keberanian Memimpin "Diplomasi Keras Bermoral", atau hanya menjadi salah satu negara gagal bersikap ketika dunia membutuhkan nyalinya?

"Jika anak-anak mati tanpa dunia menoleh, maka dunia itu sudah mati. Jika diplomasi kehilangan nurani, maka Gaza adalah lonceng kematiannya. Sudah waktunya kita bicara dengan bahasa yang mereka pahami: diplomasi keras bermoral".





×
Berita Terbaru Update