Oleh : Ali Amril
MediAKSI - Setelah Madleen digagalkan di laut, dunia disetrum oleh satu pertanyaan besar: apakah nurani global masih hidup? Kapal kecil itu memang digagalkan, dicegat, ditolak masuk, bahkan diblokir dengan kekuatan negara. Tapi dentuman moralnya bergema luas dan meluluhlantakkan nurani dunia. Dentuman itu meruntuhkan dinding diam umat manusia. Ia tidak berhenti di ombak, tetapi merambat ke jalan-jalan darat di Mesir dan Afrika Utara.
Kini, setelah Madleen, giliran ribuan kaki yang melanjutkan. Bukan lagi kapal, namun konvoi. Bukan lagi layar, namun langkah. Tujuannya sama: Gaza. Gerbangnya satu: Rafah. Mereka berjalan di atas jalan-jalan berdebu Sinai, di bawah panas matahari, di antara pagar, tembok, dan masih diamnya negara-negara besar.
Global March to Gaza lebih dari sekadar aksi jalanan. Ia adalah bagian dari ledakan nurani yang telah dimulai oleh Madleen. Ia melebihi agitasi gerakan massa manapun, bagian dari diplomasi gaya baru, diplomasi tanpa protokol, tanpa podium, dan tanpa basa-basi.
Di tengah panas pasir Sinai dan ketegangan militer, mereka berjalan membawa satu hal yang tak bisa dihentikan: suara hati yang menolak diam.
Gerbang Rafah boleh dikunci. Tapi dentuman nurani dunia tak lagi bisa dibungkam. Ia bergerak. Ia berjalan. Ia sedang menuju Gaza.
Negara tak mengirim mereka, tapi nurani lah yang menggerakkan mereka
Ribuan orang mewakili lintas etnis dan benua berhimpun, memulai langkah bersama dari Al-Arish menuju Gerbang Rafah. Mereka bukanlah diplomat. Tak ada mandat resmi dari negara. Yang mereka genggam dan bawa yaitu keyakinan bahwa issue kemanusiaan di Palestina tak bisa terus-menerus ditunda.
Mereka datang dari Tunisia, Libya, Maroko, Amerika, Eropa, Asia, termasuk Indonesia. Mereka berlatar belakang pensiunan, perawat, jurnalis, dokter, pegiat HAM, hingga anak muda biasa yang ingin berbuat sesuatu yang lebih dari kata-kata, mereka tak tahan lagi melihat berita dari Gaza. Tak ada mandat negara besar di belakang mereka. Tapi gelombang nurani lah yang menuntun langkah mereka.
Langkah-langkah ini tak pernah meminta izin, karena rasa sakit tak butuh legalitas untuk didengar. Inilah wajah baru diplomasi, yang lahir dari jalanan, dari debu, dan dari hati dunia yang terbakar oleh ketidakadilan.
Gerbang yang dikunci, dan dentuman nurani
Gerbang Rafah saat ini menjadi lambang paling iconic dari kebuntuan moral dunia. Ia terkunci rapat, lebih dari besi baja, namun juga oleh perhitungan politik, tekanan ekonomi, dan kekhawatiran rezim dunia.
Namun ada suatu hal yang perlu digarisbawahi : setiap kunci yang ditambahkan di Rafah, maka akan semakin memperbesar dentuman dari luar. Dentuman itu bukan datang dari senjata, tapi dari gelombang suara hati yang tak bisa lagi dibendung.
Mesir menahan dan mendeportasi ratusan peserta Global March. Tapi dunia melihat. Dunia bertanya: jika mereka yang datang untuk membawa air, obat, dan suara pun diusir, maka apalagi yang tersisa dari kemanusiaan kita?
Gerbang yang terkunci kini tak lagi bisa membungkam. Justru ia menjadi panggung besar bagi dentuman nurani dunia untuk bergema.
Indonesia dan jejak nurani bangsa
Dari Indonesia, diantara 200 juta lebih jiwa, beberapa warga negara kita hadir dalam barisan ini. Di antaranya ada nama-nama publik yang dikenal seperti Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Wanda Hamidah, Hamidah Rachmayanti, dan Indadari Mindrayanti. Mereka tidak datang sebagai utusan diplomatik, tapi sebagai wajah nurani bangsa.
Keberangkatan mereka membawa pesan : bahwa Indonesia tidak hanya hadir di forum internasional, tapi juga di jalanan penuh debu Sinai. Ini lebih dari soal ikutserta, namun tentang ikut hadir di titik perlawanan: ketika dunia memilih diam, mereka memilih terus bersuara.
Jejak langkah mereka adalah pesan simbolik dari rakyat Indonesia, bahwa bangsa ini, sejak lama berdiri bersama Palestina. Tidak hanya dengan pernyataan, tapi juga dengan kehadiran fisik dan keberanian bersuara.
Dari laut ke darat, estafet diplomasi nurani
Aksi kapal Madleen telah lebih dulu mengguncang narasi dunia. Ketika kapal kecil itu digagalkan oleh militer, ia justru mendorong gelombang moral yang lebih luas. Dentumannya tak berhenti di laut. Ia memanggil jalanan untuk bersuara.
Kini, Global March to Gaza menjadi estafet nurani dunia berikutnya. Laut telah bersuara, kini daratan menjawab. Jika Madleen adalah protes di atas ombak, maka konvoi darat ini adalah protes di atas pasir. Semuanya memiliki satu makna: sebuah estafet diplomasi dunia yang tak akan pernah berhenti.
Dalam sunyi, langkah-langkah ini memiliki dentuman lebih nyaring dari pidato manapun. Inilah estafet diplomasi dunia.
Kita semua sedang menuju Gaza, pelan tapi pasti
Kita yang tidak hadir secara fisik mungkin merasa jauh dari Rafah. Tapi sejatinya, kita semuanya, setiap kita, sedang menuju ke sana. Lewat kesadaran, lewat doa, lewat tulisan, lewat keberpihakan yang tidak pernah padam.
Gaza telah menjadi simbol luka dunia, dan setiap langkah menuju Rafah adalah langkah menuju diplomasi kolektif umat manusia. Dunia sedang bergerak. Meski tidak cepat. Meski tidak dengan gemuruh. Namun pelan, pasti, dan pada akhirnya tak akan pernah bisa dihentikan.
Jika dunia pernah kehilangan nurani, maka Global March to Gaza adalah tanda bahwa ia mulai menemukannya kembali. Dan ketika nurani mulai melangkah, sejarah tak akan pernah sama lagi.
Madleen di laut. Rafah di darat. Gaza di hati. Dunia sedang belajar kembali untuk menghidupkan nurani nya secara kolektif. Dan ketika perasaan itu menemukan jalannya, tak ada kekuasaan yang mampu menghentikannya.