MediAKSI - Dunia hari ini tidaklah kekurangan informasi, tapi kekurangan keberanian. Kita sudah sampai di tengah zaman dengan teknologi tercanggih, dengan penyampaian kecepatan penyebaran informasi tercepat, namun masih terlalu lambat untuk menyelamatkan satu bangsa dari kepunahan. Palestina saat ini lebih dari dijajah secara fisik, tapi juga dimatikan sistematis secara moral oleh dunia yang sebagiannya masih tidak mau tahu.
Kita memahami, bahwa mungkin sebagian dari kita sudah merasa lelah, jenuh, dan bosan. Puluhan tahun menyaksikan penderitaan yang seolah terus menemui jalan buntu. Terlalu sering dari Palestina sana, kita menyaksikan reruntuhan, mendengar secara dalam tangis anak-anak, membaca jumlah korban dalam angka-angka statistik. Yang pada akhirnya, banyak dari kita kelelahan dan memilih diam. Namun inilah waktunya kita kembali nyatakan keberpihakan dan tegaskan: diam adalah kemewahan yang tak lagi relevan !
Palestina: Luka yang Terbuka dan Seolah Dibiarkan
Di Gaza, setiap hari, kita menyaksikan bahwa kehidupan dipertaruhkan yang bahkan hanya untuk sekadar bertahan. Di tengah blokade, gedung di lululantakkan, rumah-rumah dimusnahkan, dan anak-anak dihancurkan masa depannya. Masihkah akal sehat kita berfungsi, ketika menyatakan ini adalah konflik? Kita harus nyatakan ini adalah proyek pemusnahan sistematis suatu bangsa yang terjadi di depan mata dunia!
Konteksnya bukan karena kita tidak tahu atau tidak mau tahu. Namun mungkin kita sudah terlalu terbiasa melihat kejahatan, hingga merasakan pemusnahan ini menjadi tontonan biasa. Dunia yang menjunjung tinggi peradaban, sebagiannya masih menyaksikan, namun memilih untuk bungkam atas nama “netralitas” yang kosong.
Dari Tanah Air, Suara Tak Lagi Ditahan
Satu diantara beberapa hal yang patut kita syukuri, bahwa di Indonesia berbeda. Suara dari tanah air kita, saat ini kini mengalir deras dari berbagai penjuru. Lintas ormas, lintas agama, lintas geografi, solidaritas hadir semakin menguat dalam bentuk yang paling dalam: dari nurani kemanusiaan yang tergugah.
Dari Panggung PUIC, Indonesia Menggugah Dunia
Masih hangat di benak kita, di Sidang ke-19 PUIC (Parliamentary Union of the OIC Member States) yang digelar di Jakarta baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto berdiri dan bersuara dengan tegas dan terang: “Dunia Islam tak boleh terus jadi penonton. Dunia Islam harus bersatu, bersikap, dan bertindak nyata. Tidak cukup dengan mengutuk. Tidak cukup dengan doa. Saatnya ada keberanian untuk mengambil posisi!”
Pernyataan tersebut tentu lebih dari sekadar pidato. Ia adalah lonceng. Lonceng yang menggugah dunia Islam bahwa yang dibutuhkan bukan lagi diplomasi normatif apa adanya, tapi ketegasan historis.
Dari podium PUIC, Indonesia lebih dari menunjukkan sikap. Indonesia mengambil posisi memimpin arus utama. Dan arus utama ini haruslah membawa pesan bahwa perjuangan Palestina adalah ujian bagi kepemimpinan dunia Islam hari ini. Dan Umat Islam Dunia harus terus BERSUARA SAMPAI PALESTINA MERDEKA!
Dunia yang Mulai Bicara, Sekalipun Terlambat
Dunia Barat selama ini tidak sepenuhnya diam. Namun kini mereka mulai bicara lebih keras. Negara-negara seperti Irlandia, Spanyol, dan Afrika Selatan secara terbuka menyatakan keberpihakan dan mendukung kemerdekaan Palestina yang sesungguhnya. Bahkan Prancis menyatakan akan mengakui secara resmi Negara Palestina pada Juni 2025 nanti. Ini bukanlah langkah kecil. Ini adalah guncangan geopolitik yang akan mempengaruhi dan mengubah arah arus.
Gerakan mahasiswa, selebritas, hingga pemimpin sekuler mulai menyuarakan solidaritas secara terbuka. Yang dulu ragu, kini mengambil peran, meski jadi sorotan. Yang dulu sunyi kini menggema dan meledak-ledak. Dunia mulai semakin meyakini: jika mereka terus diam, maka sejarah akan mencatat mereka sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri.
Yang menarik, Tiongkok pun mulai menyatakan dukungan secara terang. Negeri tirai bambu itu mengirimkan bantuan kemanusiaan secara langsung dalam skala besar, seolah menunjukkan sinyal bahwa dukungan pada Palestina kini tidak lagi dimonopoli oleh dunia Islam dan atau negara-negara Barat. Ini adalah pertarungan sekaligus pertaruhan narasi global, yang mana semua pihak mulai menentukan posisi.
Selain itu, masih hangat kita menyaksikan, ratusan ribu massa tumpah ruah di Den Haag, Belanda. Bukan dari satu golongan, bukan dari satu agama. Tapi dari berbagai elemen masyarakat yang datang dengan satu tekad: menyuarakan kemerdekaan Palestina yang sesungguhnya. Sebuah potret yang mempertegas, bahwa nurani kemanusian menembus batas-batas geografis.
Suara Adalah Senjata yang Kita Miliki
Kita tidak bisa ikut dalam pertempuran di Gaza. Namun kita bisa bersuara. Kita bisa menulis. Kita bisa turun ke jalan. Kita bisa mengajak orang lain untuk menyatakan keberpihakannya. Kita bisa menggalang dana. Kita bisa mengedukasi. Selalu ada alasan untuk kita bisa berbuat dan menyatakan keberpihakan, kecuali jika kita memilih untuk diam, tak mau tahu, dan mati rasa.
Solidaritas lebih dari sekedar gerakan bersama dan bergelombang yang saling sahut-menyahut. Solidaritas adalah soal arah hati kita. Dan hari ini, arah hati kita tak boleh lagi menghadap layar kosong tanpa makna.
Diam Adalah Pengkhianatan Nurani
Kita boleh lelah. Namun jangan sampai lelah itu mematikan suara kita. Kita harus meyakini, bahwa saat kita diam, dunia kehilangan satu harapan. Dan Palestina kehilangan satu pembela.
Kita mungkin tak bisa menyembuhkan luka Palestina. Tapi kita bisa memastikan mencegah satu hal: jangan sampai diam kita menambah dalam luka itu, karena diam adalah pengkhianatan nurani!